Selasa, 05 Mei 2015

Kegigihan yang tak kunjung gugur berbuah manis!


Berawal dari kunang-kunang, saya mulai tertarik mencari hal-hal yang berkaitan dengan makhluk kecil bercahaya itu. Tak disangka saya justru menemukan hal lain dijendela dunia maya. Forum Indonesia Muda, yang katanya penuh dengan orang-orang menginspirasi, dengan orang-orang yang tak hanya mengkritik tapi juga memberi solusi. Mulai dari sana saya mencari tahu lebih lanjut filosofi dari FIM ini.

Sambil memyelam minum air, ternyata tempat saya mengabdi sebagai volunteer yang pada waktu itu masih bernama Sahabat Pulau Chapter Semarang (sekarang Sahabat Tenggang) sebagaian orang-orangnya pernah mengikuti pelatihan FIM, diam-diam saya mencari tahu lebih detil dari mereka, dan saya memberanikan diri untuk mendaftar pada FIM 15, sayangnya waktu itu saya gagal. Tidak sampai disana saya masih mencoba di FIM 16, dan hasilnya pun sama GAGAL. sempat muncul pikiran-pikiran tidak sehat, tapi kawan-kawan saya menyemangati dengan jargon jangan menyerah sebelum 21 kali mencoba, saya men-iyakan tapi dalam hati "siapa yang tahan dengan 20 kali penolakan?" hehehehe

Berlanjutlah ke FIM 17, waktu mengisi aplikasi pendaftaran FIM, ada keraguan, antara ingin menlanjutkan atau berhenti sampai disitu. Tapi kembali lagi tekad sudah dibulatkan apapun yang terjadi jangan berhenti mencoba, dan prinsip saya "kecuali saya sudah tak mampu bergerak, bicara dan melihat saat itulah waktunya berhenti". Sekitar awal bulan maret dengan malasnya saya membuka portal FIM, tidak disangka saya lolos sebagai peserta FIM 17, ditanggal yang berangka 17, angka yang sama dengan tanggal lahir dan angka yang sama dengan nomor punggung pemain bola favorit saya(bebeb hazard hehehe).

Dan disilah saya dengan kegigihan yang cukup keras kepala, saya bertemu dengan orang-orang yang sangat menginspirasi, mulai dari teman sekamar, teman satu grup fasilitator dan teman API Ekspresi, dan yang paling berkesan bagi saya adalah grup Fasilitator 11 Tak Tongtong namanya, terdiri dari 11 orang(termasuk panitia 2 orang kak yuri yang suaranya mirip dahsyat sama fitrop dan kak acho yang geraknya sangat menginspirasi siapa lagi dialah founder sahabat pulau) yang memiliki sudut pandang, watak dan karakter yang berbeda kami berbaur menjadi satu.

Mulai dari Septian alias Babe UNJ yang jadi ketua grup pribadinya yang kocak sudah cukup membuat suasana mencair dengan candaannya.
Adji IPB, dengan proyeknya mencari jodoh, adalah partner dari si babe, tampangnya yang kelihatan dewasa(karena didukung kumis cetarnya) tidak menutupi sifatnya yang lebih kocak dari si babe, dan si adji ini salah satu calon ketua angkatan FIM 17, hanya sampai situ aja sih. hehehe (tetep semangat aja lah)
Thofa, saya menyebutnya Nazar dari medan, dia tidak pandai menyanyi tapi akting dan cara dia membaca puisi patut di acungi jempol. Gayanya berbicara yang membuat saya menyebutnya sebagai Nazar dari Medan.
Kak Iin UNSOED, orang yang namanya cukup melanglang buana di jagad media sastra tapi sudah orang ini yang paling sulit dicari keberadaannya, dan ternyata dia adalah seorang penulis. (dan saya sangat tidak pede menulis tentang dia disini, duh dibanding dia, tulisan aku mah apa atuh)
Chika ITB, perempuan cantik dari bandung, sempat kaget ternyata bidadari itu ada. Dari awal pengumuman peserta sudah di tentukan kelompok fasil masing masing dan perempuan inilah yang menyatukan fasil 11, cukup mampu mengayomi.
Afifah, bidadari kedua di fasil Tak Tongtong berasal dari UNAND Bengkulu pribadi yang anggun dan ceria.
Nufit, perempuan tangguh dari Univ. jember si single fighter, seorang yang baru keliatan sifatnya di hari-hari terakhir kita di fasil, dibalik sikapnya yang tenang dia orang yang kocak. (terbongkar juga kedokmu nona hahaha)
Bayu UII, sedikit sulit untuk mengdeskripsikan orang satu ini, karakternya kuat tenang dan agak serius, takut juga saya pas liat orang ini , eh lama lama keliatan juga bisa di ajak bercanda.
Akbar, dari sulawesi selatan, malu-malu lebih lancar berbahasa inggris dan pribadinya lebih tenang dari air, eh pas hari terakhir sama juga muncul sifat kocaknya.
Kak Yuri perempuan palembang, panitia yang cantik lincah dan bersuara fitri tropika inilah yang mengayomi kami selama pelatihan FIM.
Kak Acho, dari sulawesi selatan, partner dari kak yuri, pribadinya sungguh sangat menginspirasi, dari semua kisahnya , sahabat pulau lah yang paling berkesan. (dalam hati sahabat pulau? ah dunia ini sempit, tapi logika berkata bukan dunia yang sempit, jaringan yang meluas)

Dan disinilah saya di sudut bilik tidur menulis apa yang bisa kutulis, memikirkan apa yang baru kulewati, benar apa kata panitia nantinya kami akan mengalami FIM Sick, perasaan dimana rindu lebih mendominasi, merindu FIM dengan segala kesenangan dan kerumitan didalamnya.

Sebagian peserta Forum Indonesia Muda Angkatan 17
Pemudi Penggerak  bangsa (Foto ngambildari instagram panitia hehehe)


 Setelah pelatihan selama 5 hari, selain pengalaman, buku buku ini yang saya dapatkan.


 Hari pertama perkenalan bersama  Fasil 11
(Tak Tongtong)

 Ini nih FIM Oye (Semarang) euy....!


 Hari terakhir kita bersama :D


 Selamat Hari Pendidikan dari Tak Tongtong Fasil 11


 Apalah apalah


 Malam Api Ekspresi, Kak Yuri habis nari piring euy...


 dari kiri : Panitia (lupa na, durhaka betul saya hehe), Yesi dari aceh, Bunda Tatty, belakangnya Panitia (lupa nama lagi, ampun nih sayanya), saya yang paling kece hehehe, belakangnya panitian lagi dan lupa nama lagi, Dika dari Solo, dan Panitia juga saya lupa namanya.


 Bareng pak Elmir, Romeonya Bunda Tatty :D


Begitulah kehidupan, narsis dimana mana

TOLONG KAMI BUNG !!!



Bung Hatta adalah sosok yang gemar membaca, bahkan ada yang menyebut bahwa Hatta menomor tigakan ibu Rahmi Hatta (istrinya) setelah buku. Sebuah pepatah yang dikutip oleh Charles Jones dalam Maxwell menyebutkan “Lima tahun lagi anda akan sama seperti sekarang, kecuali ada dua hal:dengan siapa anda bergaul serta buku-buku yang anda baca”. Membaca adalah sarana yang dapat mengubah mindset dan perilaku yang menjadikan Hatta Sosok Negarawan yang matang dengan kontribusi ide dan gagasan yang brilian bentuk sumbangsihnya dalam perjuangan bangsa Indonesia. Kecintaan Hatta pada buku bukan sekedar cintanya terhadap pengetahuan (science lovers), namun hal ini adalah awal dari pembentukan jati diri dari fenomena belajar Hatta dalam membekali dirinya sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia dalam melawan kolonialisme Belanda.
            Namun sayang, sifat Bung Hatta yang gemar membaca ini tidak diteruskan oleh generasi sekarang, di zaman globalisasi minat baca menjadi menurun drastis, dan masyarakat Indonesia enggan untuk membaca buku. Sungguh miris sekali minat baca masyarakat Indonesia sekarang ini, sebagai Negara berkembang Indonesia adalah Negara yang mempunyai minat baca yang kurang, masyarakat Negara berkembang di dunia menghabiskan 1-2 buku dalam setiap tahun, sedangkan di Indonesia 1 buku saja bahkan tidak habis dibaca. Ini merupakan cambuk bagi kita para kalangan akademisi yang sedang dihadapkan dalam keadaan yang mengharuskan berpacu dengan Negara lain terutama dibidang Pendidikan.

            Banyak orang berfikir untuk menang, tetapi sedikit sekali yang mau mempersiapkan diri untuk menang. Statement ini adalah alasan Hatta untuk selalu membaca sebagai persiapan untuk menjadi pemenang, yaitu pemenang melawan penjajah dengan amunisi ilmu dan pengetahuan yang bila sudah terisi penuh, siap untuk ditembakan.


Ajari Kami Demokrasi Asli Indonesia
            Bung Hatta menjelaskan Demokrasi Asli Indonesia adalah demokrasi desa, demokrasi desa ini berakar dari masyarakat komunal bangsa Indonesia. Konsep ini sudah eksis jauh sebelum kedatangan pengaruh luar: India, Tiongkok, dan Islam. Begitu pengaruh India masuk, yang juga membawa sistem sosial hirarkisnya, yakni feodalisme, maka sistem demokrasi asli ini tersingkir ke desa-desa.

            Dengan demikian, bisa disimpulkan, di jaman itu ada dua kekuasaan yang eksis: pemerintahan desa dan pemerintahan feodal. Karena kekuasaan feodal ini datangnya dari luar, maka sistem sosial masyarakat asli, yaitu gotong-royong, tidak pernah tersingkir penuh.

            Namun, Hatta mengingatkan, lantaran sistem demokrasi desa ini dijepit oleh kekuasaan feodal, maka tidak dapat berkembang maju dan bahkan menjadi semakin pincang. “Jadinya, di dalam pergaulan (sistem sosial) masyarakat Indonesia yang asli, demokrasi itu hanya terdapat di bawah. Sedangkan di atasnya semata-mata pemerintahan otokrasi,” kata Bung Hatta.

            Pekerjaan-pekerjaan besar, seperti membangun rumah atau turun ke sawah, biasanya dikerjakan secara bersama-sama (gotong-royong). Tradisi gotong-royong dan tolong-menolong ini nyaris kita temui dalam semua masyarakat Indonesia. Masyarakat juga berhak mengeluarkan uneg-uneg mereka entah itu dengan Rapat Akbar maupun Protes langsung kepada perangkat desa. Demokrasi ekonomi yang dimaksud oleh Hatta adalah mengenai kepemilikan bersama alat produksi, semisal tanah yang digarap bersama dan untungnya juga dirasakan oleh semua yang biasa disebut Tanah Ulayat.

            Dengan demikian, konsep demokrasi desa itu sudah menggabungkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Jadi, di satu sisi, rakyat punya partisipasi yang sama di wilayah politik, tapi disisi lain rakyat punya partisipasi dalam alat produksi dengan kemilikan bersama.

            Inilah yang berbeda dengan demokrasi sekarang. Demokrasi sekarang menceraikan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Akibatnya, sekalipun orang dipandang sama dalam wilayah politik, tapi sangat timpang di wilayah ekonomi. Akibatnya, demokrasi politik sering dikudeta oleh absolutisme pasar. Demokrasi keblinger yang diterapkan di Indonesia ini sangat bertentangan dengan demokrasi asli yang di utarakan Bung Hatta, andai Bung Hatta disini saya ingin beliau menjadi pembicara nasional seminar mengenai Demokrasi yang dihadiri oleh tokoh-tokoh dan para elit parpol Negeri ini yang semakin keblinger mengartikan arti demokrasi, yang semakin mencekik rakyat dengan alasan untuk kepentingan rakyat, yang hanya ”Merakyat” ketika datangnya musim PEMILU yang diberi embel-embel pemilu rakyat.
Ekonomi Kolektif Bung Hatta
            Bung Hatta mempunyai jiwa kewirausahaan yang tinggi, beliau membangun koperasi sebagai bentuk solusi kondisi ekonomi yang berada dalam masa transisi pasca kemerdekaan Indonesia. Dengan menggunakan semangat gotong royong yang mengacu pada konsep asli Demokrasi Asli Indonesia. Ketertarikannya kepada sistem koperasi dimungkinkan merupakan buah dari kunjungannya ke Negara-negara Skandinavia, khususnya Denmark, pada akhir 1930-an. Bagi Bung Hatta, koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar atau nonpasar dalam masyarakat tradisional. Koperasi, baginya adalah lembaga self-help lapisan masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa ambil bagian dalam pasar. Latar belakang keluarga dan lingkungan hidupnya, kemungkinan turut mempengaruhi pemikiran Bung Hatta mengenai koperasi ini.

            Koperasi bukan sebuah komunitas tertutup, tetapi terbuka, tetap melayani non-anggota, walaupun dengan maksud untuk menarik mereka menjadi anggota koperasi, setelah merasakan manfaat berhubungan dengan koperasi. Dengan cara itulah sistem koperasi akan mentransformasikan sistem ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi kecil melalui persaingan bebas, menjadi sistem yang lebih bersandar kepada kerja sama atau koperasi. Di Indonesia, Bung Hatta sendiri menganjurkan didirikannya 3(tiga) macam koperasi. Pertama, adalah koperasi konsumsi yang melayani kebutuhan kaum buruh dan pegawai. Kedua, adalah koperasi produksi yang merupakan wadah kaum petani (termasuk peternak dan nelayan). Ketiga, adalah koperasi kredit yang melayani pedagang kecil dan pengusaha kecil guna memenuhi modal.

            Bung Hatta juga menganjurkan pengorganisasian industri kecil dan koperasi produksi, guna memenuhi kebutuhan bahan baku dan pemasaran hasil. Menurut Bung Hatta, tujuan koperasi bukanlah mencari laba yang sebesar-besarnya, melainkan melayani kebutuhan bersama dan wadah partisipasi pelaku ekonomi skala kecil. Akan tetapi, hal ini tidak berarti koperasi itu identik dengan usaha skala kecil. Ide koperasi ini juga bisa menjadi model usaha dalam skala lebih besar. Terlihat dengan jelas ide bentuk-bentuk koperasi Bung Hatta, memberi perhatian besar bagi nasib rakyat kecil. Bung Hatta ingin agar rakyat kecil tidak tergantung pada pemilik modal. Ia menginginkan rakyat kecil mampu berdiri sendiri dan memiliki kekuatan dalam sistem pasar yang sangat merugikan rakyat kecil ini. Akan tetapi pasar bebas dalam topeng globalisasi telah menggerus semangat koperasi ini. Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) adalah topeng pasar bebas yang mana menggunakan sistem ekonomi liberal, kemana semangat Ekonomi Kerakyatan yang digemborkan oleh Bung Hatta, memang dunia selalu berubah sistem perekonomian juga berubah, kalau tidak mengikuti pasar akan di embargo. Indonesia harus punya satu sistem Ekonomi kerakyatan, sistem ekonomi yang dikembangkan dari sitsem ekonomi kolektif Bung Hatta, sistem ekonomi yang berani bersaing dengan sistem ekonomi liberal. Tolong ajarkan Menteri Perekonomian dan Kementrian Terkait mengenai Sistem Ekonomi Kolektif Bung !!!

            Banyak sekali kritik yang ingin saya sampaikan ke orang-orang yang ada di pemerintahan sekarang, tulisan diatas harapannya bisa menyadarkan para wakil rakyat kita yang ada di Senayan sana bahwa Bung Hatta dan segala pemikirannya adalah solusi dari semua permasalahan yang ada di Negeri kita tercinta ini.

            Saya ingin sekali menulis surat ke Bung Hatta tapi apalah daya Bung Hatta telah berada di sisi-Nya, jadi saya hanya ingin menyampaikan kepada semua pemuda dan mahasiswa bahwa Bung Hatta telah menuangkan pemikirannya dan semua jasanya terhadap Negeri ini, tugas kita adalah mengembangkan dan meneruskan semua cita-cita para founding Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Salam Pembebasan Nasional ! Cerdas, Militan Merakyat !

ditulis pada tanggal 12 Maret 2015