“Jadi papa kamu udah pulang?”
“Iya zal, kemarin minggu dan dia bawa oleh-oleh yang gak
biasa”
“itu artinya papa kamu masih perhatian sama kamu dong”
“Iya, saking perhatiannya aku harus merawat dia beberapa
hari ini, karena oleh-oleh yang dia bawa adalah malaria dari daerah yang dia
kunjungi terakhir zal”
“oh iya? Apa ada yang bisa aku bantu?”
“Ada, cek ulang jadwal meeting saya hari ini, kalau ada
janji rapat dengan klien, BATALKAN, karena saya harus merawat ayah saya”
“Baik nona, ada lagi?”
“Hahaha ada-ada aja, hmmt... sore-sore gini biasanya kita
udah jalan-jalan ke pantai kalo gak ke puncak yah, sekarang udah beda pulau,
mana bisa jalan bareng”
“Kamu kangen sama aku ya? Kalau mau di ajak jalan-jalan
bilang aja, nanti aku ke Binongko”
“Sembarangan! Yang kangen kamu siapa? Idih aku Cuma bosen
aja di Binongko. Ya udah dulu ya, aku ada urusan. Bye...”
Disini saya sekarang, kembali ke rumah di Binongko,
terakhir saya kesini saat treagedi mama terserang stroke, dan hari ini juga
saya sedang merawat papa yang sedang sakit. Mama juga pulang ke Binongko tapi
menetap di desa Taepabu (Rumah masa kecilnya, sekarang mama tinggal bersama
kakak sulungnya) beberapa kilometer jauhnya dari kami.
Pagi-pagi saya harus bangun untuk membuat bubur untuk
sarapan papa saya, dan membersihkan rumah, setelah itu sekitar jam 10 pagi saya
akan meluncur ke Taepabu untuk merawat dan menyiapkan kebutuhan mama, begitulah
setiap saatnya selama kurang lebih 3 minggu, ada saat dimana saya sangat
terpuruk dan putus asa, kenapa semua ini menimpa saya? Dan ketika perawat
datang untuk mengontrol kesehatan papa, saya mendengar dia berkata “untung saja
lely orangnya kuat, jadi dia bisa melewati semua ini seperti tidak terjadi
apa-apa”
Saya mengambil sisi positifnya dengan beranggapan,
orang-orang mengira saya gadis yang tangguh, dan jika memang benar, aku harus
menjadi gadis yang tangguh, dan saya percaya untuk menjadi tangguh adalah suatu
kebutuhan yang mutlak adanya.
Biiip... Biiip...
Biip... Biiipp...
“Gimana kabar hari
ini? Lagi apa?”
“Seperti biasa, gak
ada yang berubah, membosankan”
“Makanya aku sms biar
kamu gak bosen”
“haha... lucu, ada
apa kamu sms? Gak biasanya, kamu kan type orang yang suka ngabisin pulsa dengan
cuap-cuap bukan dengan ketak ketik beginian”
“Aku lagi dirumah
kakakku, kita mau ke pantai siang ini”
“lalu? Kamu mau pamer?
Atau ada sesuatu yang pengen kamu sampein?”
“Antara pengen pamer
dan ada sesuatu yang pengen aku sampein”
“Haha.. lucu, jadi
apa yang pengen kamu sampein?”
“Aku mau ke pantai
bareng kakakku dan keluarganya :p”
“SERIUS ITU DOANG?”
Selalu saja begitu, dengan candaan yang terkadang membuat
saya jengkel, saya menunggu sepanjang hari balasan dari pertanyaan yang tak
kunjung di balas, saya mulai mencari kontaknya dan menelpon, tapi niat itu
hanya sampai pencarian, yang benar saja, mana mungkin saya menelpon dia untuk
mencari tahu jawaban dari sms saya, dia pasti hanya bercanda, hanya sekedar
menghibur saja.
Papa sudah minum obat dan melanjutkan tidur, dan saya
masih dengan menunggu ponsel berdering menunjukan nama yang saya tunggu-tunggu,
entah kenapa saat itu perasaan saya berkata lain, ada sesuatu yang lebih
penting yang akan dia sampaikan. Dan saat mata mulai sayup-sayup, ponsel
berdering tepat jam 10 malam.
“Waw waw waw, cepat sekali kamu ngangkat telponku”
“kamu gak tau, sepanjang hari aku nunggu kabar dari kamu?”
“kabar dari aku? Kok nunggu kabarku”
“maksudku, aku merasa ada hal lain yang ingin kamu
sampein zal”
“emm kamu yakin? Bukannya kamu nunggu di telpon? Rindu kah?”
“Sudahlah lupakan, aku ngantuk”
“hop hop hop... ok ok, aku kasih tau deh dasar jutek,
jadi gini tadi kan aku ke warnet, yah seperti biasa nyoba buat cek pengumuman
tes yang kamu ikutin”
“Dan?!!!! Hasilnya apa???”
“emm kamu lulus, ini aku print pengumumannya, nanti aku
kirim”
“aaaaaa makasih ya zal, kamu baik banget deh, aku gak tau
gimana aku kalo gak ada kamu”
“yupp, kan aku udah bilang bakalan bantuin, kalo udah
bilang gitu ya jadinya gitu”
“iya zal, makasih. Kamu sahabat cowok yang paling baik”
“......”
“......”
“.....”
“zal? Masih disana? Kamu ngantuk yah, mau tidur? Ya udah
tidur dulu deh, besok aku telp..”
Tuut tuuut tuuuut... Telfon mati ketika saya belum
selesai bicara.
Papa sembuh dan kami mulai tinggal serumah dengan mama,
kakak dan suaminya sering mengunjungi kami. Hari-hari itu sering di habiskan
dengan melatih mama untuk bisa berdiri dan Rizal tidak pernah menghubungi,
mengangkat telpon dan membalas sms dari saya. Ada sesuatu yang membuat dia
menjauhi saya, dan aku tidak tahu apa itu.
Ketika hari keberangkatan saya untuk kuliah tiba, saya
berangkat dengan tangis yang menderu-deru, bagaimana tidak? Saya meninggalkan
mama saya yang saat itu belum menunjukkan kemajuan apapun dari hasil terapi
yang kami lakukan, dan dia tidak ikut mengantar saya sampai di dermaga.
Tapi saya tetap berangkat dengan membawa restunya.